SENI BERAKHLAK DI ERA INTERNET OF THINGS
SENI BERAKHLAK DI ERA INTERNET OF
THINGS
Penulis : Moh Ichlasul Amal Huda
Di era seperti ini dimana dengan adanya sosial media kabar berita mudah didapati oleh semua umat tanpa memandang bulu. Yang pasti akan memberikan dampak terhadap kondisi sosial masyarakat tersebut. Masyarakat mampu mendapatkan sebuah berita dengan sangat mudah dan cepat tanpa mengetahui apakah itu berita yang akurat atau hanya sekedar hoax. Seharusnya masyarakat mampu memfilter segala yang mereka dapati, sehingga menjadi insan yang selektif dalam menanggapi segala persoalan. Coba renungkan sudahkah kita menjadi pengguna sosial media yang mengarah kepada hal hal positif? Yang tidak hanya menghujat orang lain lewat komentar yang mampu merendahkan mental orang lain. Atau menyebarkan berita hoax yang mampu menjatuhkan martabat orang lain, padahal belum mengetahui ke aktualan berita tersebut. Sebagai kaum intelek kita harus mampu bertindak dalam hal ini, menjadikan sebuah internet sebagai buah yang berbau positif yang mengarah kepada kemajuan dan juga kesatuan. Bukan menjadikan sebagai alat untuk merobohkan keutuhan sosial masyarakat. Seperti dalam menanggapi sebuah kasus yang terjadi pada saat ini mari berproses pada zaman now ini dengan lebih mengedepankan akhlak ketimbang ego sendiri.
Dalam persoalan ini saya mengambil ibrah atau sebuah pelajaran contoh yang dapat kita ambil dari sebuah peristiwa tokoh tokoh yang ada di negara kita. Yang pertama melirik ke seorang duta baca Indonesia Najwa shihab atau yang akrab di panggil dengan mbak Nana. Putri seorang ulama besar Indonesia Prof. Dr. Muhammad Qurais Shihab LC. M.A. ini adalah seorang yang yang sangat peka terhadap kondisi lingkungan masyarakat Indonesia. Dan juga beliau termasuk orang yang kritikus yang selalu mengomentari terhadap oknum pemerintah yang mungkin sedikit melenceng dari kepengurusannya. Dengan kemampuan public speakingnya yang mampu menuntun argumennya menjadi sebuah hasil dengan genre penyampaian yang sangat bijak. Tak beda jauh dari itu ada seorang tokoh yang sama pengkritik pemerintah yaitu Rocky Gerung, beliau adalah seorang filsuf, akademis, dan juga intelektual publik Indonesia. Ia pernah mengajar di Universitas Indonesia dan merupakan salah seorang pendiri Setara Institute dan fellow pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D). Dalam mengkritik pemerintah beliau selalu mengedepankan tetap mematuhi undang undang. Pemikiran Rocky Gerung mulai diperhatikan publik secara luas sejak ia muncul pertama kali di acara televisi Indonesia Lawyers Club di awal tahun 2017. Saat itu, Rocky Gerung mengkritik pemerintah dengan menyatakan pemerintah sebagai pembuat hoaks terbaik karena memiliki banyak perangkat untuk berbohong. Sejak itu pula, Rocky terkenal sebagai salah satu intelektual yang tajam dan keras dalam mengkritik pemerintah sehingga sering diundang untuk menjadi narasumber di acara televisi, universitas, dan lain-lain.
Dalam kasus lain yaitu seorang komika Bintang Emon yang juga mengkritik terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di sosial medianya dalam kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Ia selama ini memang dikenal kerap mengunggah video-video kritikan dengan selipan humor khas stand up comedian. Akan tetapi setelah itu muncul tiga akun yang menudingnya bahwa seorang bintang emon adalah pengguna sabu, hal ini adalah sebuah bentuk teror yang dilakukan oleh akun-akun buzzer sembari mengkritisi pemerintah yang takut pada generasi kritis Emon.
Jika dianalogikan dengan persoalan Bintang Emon. Apa yang disampaikannya pada dasarnya sama dengan Rocky Gerung atau Najwa Shihab dengan talk shownya Mata Najwa, ataupun tokoh-tokoh yang tidak setuju dengan pemerintah. Akan tetapi genre penyampaiannya berhasil menuntun hasil yang terjadi. Bintang Emon misalnya, memilih cara penyampaian yang mengkritisi pemerintah melalui akun media sosialnya, dengan secara terang terangan dan dipertontonkan oleh khalayak umum sedangkan Najwa ataupun Rocky Gerung berada pada forum resmi dibawah undang-undang.
Saya akhirnya tersadar, bahwa dalam hidup perlu diperhatikan beberapa kode etik yang sering kita langgar. Kita terkadang bersifat naif menganggap paham hal tersebut sepenuhnya padahal kenyataannya bertolak belakang. Ditambah kita sekarang hidup dizaman dimana dunia maya seakan akan sebuah kehidupan baru yang abstrak. Didalam sebuah circle kehidupan bebas dalam berkomentar terhadap orang lain yang mungkin mampu menjatuhkan pangkat martabat orang lain. Persoalan yang menyangkut Bintang Emon tak lepas dari permasalahan kode etik tersebut. Memang kita perlu ketegasan dalam membela kebenaran, tetapi kita juga harus tahu kode etik yang menuntut keadaan. Karena dalam bersosial media juga ada batasan batasan dalam mengkritik seseorang. Sosial media tak mengenal umur, maka jadikanlah sosial media sebagai ruang pertukaran pendapat dengan cara yang bijaksana. Disinilah muncul peran empati dalam setiap sikap individu, menyikapi dengan bijak apakah yang kita lakukan adalah sebuah solusi atau kepuasan ego pribadi?
Saya akhirnya mengambil kesimpulan bahwa dalam kehidupan sekarang dalam berargumen kita harus ekstra hati hati berucap ataupun bertingkah laku. Karena sekarang adalah jaman dimana internet ikut serta dalam pembentukan kepribadian induvidu seseorang. Segala kegiatan sekarang dapat diakses dengan gadget melalui jaringan internet. Yang pasti memberikan dampak pada masyarakat sebagai konsumen segala hal yang bersumber dari sebuah gadget. Jadi, jangan gegabah dalam menyikapi suatu hal yang seharusnya kita mengedepankan sifat bijak ketimbang ego kita sendiri, jika memang hanya pembelaan dan pembenaraan atas ilusi yang secara tidak sadar kita bentuk sendiri. Saya pikir sudah saatnya kita berkaca pada diri sendiri jangan-jangan musuh terbesar adalah diri kita sendiri.
Komentar
Posting Komentar