AGAMA DAN INTERNET OF THINGS
Internet
of things menjadi pembahasan menarik di bidang teknologi digital. Secara
sederhana IoT dapat di artikan sebagai cara pandang (worldwide) dan konsepsi
yang menghubungan apapun dan siapa pun berdasarkan teknologi internet. Konsep
ini seperti ini menjadikan hubungan mesin dengan manusia semakin mekanistik dan
saling membutuhkan serta kompleks dan terkoneksi satu sama lain.
Yang
menjadi pertanyaan saat ini adalah, bagaimana agama menghadapi era seperti ini
? bagi beberapa kalangan agama akan tersingkirkan di era ini. Namun menururt
peneliti Universitas Texas A&M, Prof. Heidi Campbell bahwa agama justru
akan tumbuh subur di dunia maya, apapun agamanya mereka akan memindahkan tempat
peribadatan nya ke dunia digital.
Disisi
lain dunia intelektual seolah dilanda ketakutan dan kecemasan tentang ancaman
terhadap peradaban manusia yang di sebabkan oleh htiga faktor utama yakni,
yaitu perang nuklir, perubahan iklim atau keruntuhan ekologis dan gangguan
teknologi dan biologi. Di tengah berkecamuk nya manusia yang di sandera oleh
sains dan teknologi digital. Manusia modern di kejutkan oleh sebuah tawaran
solusi radikal yakni membuang agama yang di anggap sebagai kekuatan negatif
dalam masa IoT. Di dunia barat yang tak percaya tuhan dan meremehkan agama
mengungkap beberapa akibat fatal dari pernyataan-pernyataan tentang agama. Yang
paling mencolok adalah pemahaman tentang eksistensi dan realitas yang berakibat
pembatasan kausalitas dan sistem alam hanya sebatas proses saintifik.
Dalam
pengajian bulanan keluarga besar
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII). Prof. Dr.
Djamaluddin Ancok, Ph.D. menyampaikan bahwa “perubahan semakin sulit di
prediksi. Tidak ada pola linieritas atau kacau. Kita wajib merenungkan untuk
mempersiapkan diri”. Beliau mengungkapkan ada 3 prinsip yang harus senantiasa
di pegang oleh seorang muslim yakni 3M (mining, membership and must try).
Mining merupakan prinsip hidup untuk sebisa mungkin memberi makna atau
bermanfaat bagi banyak orang dan bersangkutan dengan membership yang berarti menghargai peran seseorang dalam
hal apapun. Dan yang terakhir adalah must try
yang artinya harus mencoba dan berani, agar tidak diam-diam saja dan
tidak ketinggalan zaman.
Karena
pada masa ini agama cyber menjadi agama zaman now yang memiliki karakter sangat
berbeda dengan agama konvesional. Agama cyber lebih mudah untuk mengujarkan
kebenciankebencian pada kelompok tertentu, menyebarkan doktrin-doktrin yang
tidak lurus atau tidak dijai secara mendalam dalam syariat nya. Hal ini dapat
memicu kesalahpahaman bagi merea yang tidak menggunakan internet secara bijak.
Di
indonesia sendiri Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menempuh berbagai upaya
untuk turut andil dalam membenahi problematika ini. Komisi Fatwa MUI sudah
mengeluarkan fatwa tentang media sosial dan Komisi Infokom sudah
menyelenggrakan literasi media sosial di beberapa kota besar. Semua ini menjadi
bagian peyadaran bagi warga indonesia tentang pentingnya menggunkan internet dengan
bijak apalagi dalam hal yang berbau kegamaan.
Solusi
dari ini semua adalah etika digital yang menjadi program untuk persoalan agama
di dunia internet walaupun membutuhkan proses panjang dan penyadaran secara
terus menerus, yang artinya program ini bukan sekedar program yang jika sudah
di selenggarakan maka selesai lah program tersebut. Etika digital adalah sistem
berbasiskan nilai dan prinsip moral yang di buat agar menjadi panduan hubungan
interaksi digital antar manusia, bisnis dan apapun.
Dalam
Etika Digital ini dampak moral menjadi salah satu hal yang di pertimbangkan.
Dari semua hal yang ada di dunia internet atau sosial media bagaimana
pertanggung jawaban perusahaan media sosial atas mewabah nya hoax di dunia maya
? yang mana itu akan sangat berpengaruh apabila seseorang yang membacanya tidak
benar-benar bijak dalam memilah dan memilih informasi. The real problem is not
whether machinesthink but whether men do yang menjadi filososi menarik bahwa
yang bertanggung jawab bukan lah mesin tapi manusia itu sendiri. Bagaimana
manusia mau membawa dampak di dunia maya, apakah akan menjadi musibah atau
menjadi berkah. Oleh sebab itu di butuhkan waktu dan proses yang sangat panjang
untuk membentuk atau melahirkan manusia yang beradab di dunia digital.
Kepatuhan pada norma dan etika menjadi nilai sangat penting karena poin ini
menegaskan bahwa bertanggung jawab atas aktivitas digital adalah perbuatan yang
sesuai dengan kodidor agama. Sehingga dalam dunia digital tidak akan ada ujaran
kebencian atau hal-hal negatif lainnya.
Dalam
konteks indonesia, MUI bisa saja meibatkan perguruan tinggi yang memiliki studi
ilmu komputer dan teknologi informasi untuk memasukkan nilai-nilai agama dalam
mata kuliah etika digital sebelum mempelajari programming yang tentunya di
sesuaikan dengan kondisi masyarakat kita. Yang di harapkan dengan demikian,
akan lahir programmer-programmer yang memiliki cara pandang dan wawasan
keagamaan, moralitas dan etika yang baik. Kita berharap bahwa agama akan
membawa cara pandang manusia terhadap kemajuan teknologi digital, serta akan
membawa berkah dan bukan musibah. Dengan demikian makan era Internet of Things
akan membawa kesejukan dan mempermudah kehidupan masyarakat kita yang memang
sudah sejak lama tidak bisa di pisahkan dengan nilai-nilai agama.
Komentar
Posting Komentar