BERAGAMA DI ERA INTERNET OF THINGS (IOT) MENGHANCURKAN ATAU MEMBAWA KEMUDAHAN?

 

BERAGAMA DI ERA INTERNET OF THINGS (IOT) MENGHANCURKAN ATAU MEMBAWA KEMUDAHAN?

Penulis : Nada Nurul Aviyanti

 


Beragama di era Internet of Things (IoT) memang pada saat ini menjadi topik pembicaraan yang semakin hangat di era revolusi 4.0. Dengan konsepnya yang memiliki potensi untuk mempengaruhi lifestyle kita baik dalam bekerja maupun beragama. Lalu apa sebenarnya Internet of Things? Adakah dampak signifikan yang ditimbulkan dalam beragama di era ini? Apakah kita sudah siap untuk mendalami kompleksitas dalam beragama yang ada di sekitar Internet of Things? Sebelum menyelam lebih dalam, ada baiknya kita berpegang pada dasar-dasarnya terlebih dahulu.

Menurut Afrizal N. Baharsyah yang merupakan blogger di Jagoan Hosting ia mengatakan bahwa Internet of Things (IoT) adalah konsep komputasi tentang objek sehari-hari yang terhubung ke internet dan mampu mengidentifikasi diri ke perangkat lain. Lalu apa yang menjadi hubungan dari Internet of Things (Iot) dengan hidup kita dalam beragama?

Dalam seminar zoom yang bertema moderasi beragama, Bapak Muhammad Maola, MA mengatakan  "Bahwasannya Pada saat ini kita sedang menghadapi bagaimana ekskalasi konflik dikarenakan banyaknya pakar keagamaan instan yang lahir dari kesalahpahaman dalam membaca suatu teks keagamaan”.

Dari perkataan tersebut kita sebagai warga Negara Indonesia harus memperhatikan bagaimana beretika dalam beragama atau dapat artikan dengan bagaimana cara kita mendapatkan kebebasan beragama antar seluruh masyarakat yang diwujudkan dengan moderasi beragama, Seperti pedoman bangsa kita yaitu Pancasila dalam Sila Pertamanya. Oleh Karena itu, yang menjadi kaitan antara Agama dengan era 4.0 adalah moderasi dalam beragama yang menjadi sesuatu yang bermakna sangat luas karna tidak hanya sekedar pada pengertian dan praktik namun juga pada jejak digital.

Zaman ini disebut juga zaman destruktif karena ada yang merusak dan menghancurkan. Hal ini disebabkan tercerabutnya segala sesuatu dari akarnya atau hilangnya keahlian, dimana masyarakat lebih memilih banyak bidang yang seringkali tidak sesuai dengan keahliannya. Misalnya, seorang selebgram merupakan seseorang yang bertanggung jawab untuk mempromosikan suatu produk atau layanan, tetapi terkadang mereka berbicara tentang hal-hal lain seperti kesehatan, politik, atau bahkan agama. Sayangnya, meskipun mereka kurang ahli dalam hal-hal tersebut, beberapa orang masih menyetujui dan mengikuti apa pun yang mereka katakan atau lakukan. Hal ini dikenal sebagai kematian keahlian.

Orang yang tidak mendalami agama seringkali gagal dalam mengenalkan agamanya dengan sesuatu yang ramah karena tidak mengacu pada sumber yang otoritatif. Keadaan yang demikian mudah menimbulkan perpecahan antar pemeluk atau antar umat beragama, sehingga diperlukan moderasi beragama. Konsep moderasi beragama sebenarnya merupakan implementasi dari konsep I'tidal, Tawasuth, Tawazun, atau Musawa. Konsep klasik ini telah dipraktikkan sejak lama, bahkan sejak zaman Nabi.

Seperti konsep moderasi beragama yang juga dipraktikkan oleh kelompok Murjiah, mereka merencanakan moderasi beragama dengan tidak memberikan dukungan antara kelompok Khawarij dan kelompok Syiah. Sehingga mereka lebih memilih untuk tidak memihak antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sofyan, meskipun mereka tidak memiliki pemahaman teologis. Kita juga bisa membagi moderasi beragama menjadi dua bagian, internal dan eksternal. Maksud dari moderasi internal agama adalah moderasi antar pemeluk agama.

Mengutip dari kata-kata Imam Syafi'I dalam syiirnya:

 

“kalamy shawaabu yahtamilu al-khathaa, wa kalamu ghairy hathau yahtamilu al-shawaaba.”

Artinya: “Pendapatku boleh jadi benar tetapi berpeluang salah, sedangkan pendapat orang lain bisa jadi salah namun berpeluang benar.”

 

Berdasarkan syiir diatas kita bisa tahu bahwasannya pendapat yang kita yakini benar bisa jadi sebenarnya salah, sedangkan pendapat yang orang lain yang kita anggap salah sebenarnya adalah sesuatu yang benar. Jika ada perbedaan pendapat dalam fiqh, misalnya, seseorang mengikuti mazhab dengan berpikir bahwa itu adalah satu-satunya yang baik, dan bahkan mungkin bisa menyalahkan orang lain. Padahal, dialah yang mengikuti mazhab yang buruk, dan yang menurutnya buruk adalah mazhab yang baik. Jadi kita tidak boleh begitu saja menyerang pola pikir orang lain dengan menganggap bahwa sekolah yang kita ikuti adalah satu-satunya kebenaran, yaitu pentingnya toleransi dan menghargai pendapat orang lain.

Selanjutnya moderasi beragama secara eksternal yaitu moderasi antar dengan agama lain. Mengambil perkataan dari pendiri Ikhwanul Muslimin Hasan al-Banna yaitu

 


و أوصى [الإسلامٍ] بالبر و الإحسان بين المواطنين و إن اختلفت عقائدهم و أديانهم: (لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين و لم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم و تقسطوا إليهم) الممتحنة. كما أوصى بإنصاف الذميين و حسن معاملتهم: (لهم ما لنا و عليهم ما علينا)

 

“Islam advises dutifulness and kindness between citizens even if their beliefs and religions differ: “Allah does not forbid you from those who do not fight you because of religion and do not expel you from your homes – from being righteous toward them and acting justly toward them.” (60:8). Similarly it advises fairness toward the dhimmis (non-Muslims living in Muslim society) and keeping up good and kind manners toward them: “We share the same rights and the same duties” [Prophet Muhammad saying].”

(Dan allah tidak melarang kalian terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian) dari kemusyrikan (dan tidak pula seorang penolak) yang dapat menolak azab Allah dari kalian. (60:8). Demikian pula ia menyarankan keadilan terhadap dhimmis (non-Muslim yang tinggal di masyarakat Muslim) dan menjaga sopan santun yang baik dan baik terhadap mereka: "Kami berbagi hak yang sama dan tugas yang sama" [Sabda Nabi Muhammad ].”

 

Dalam Maqolah ini pada dasarnya memberikan arti bahwa kita sebagai umat Islam terhadap pemeluk agama lain harus saling membantu dalam hal – hal yang telah disepakati, contohnya seperti dalam berkehidupan sosial namun kita juga harus menoleransi hal-hal yang bertentangan.

Jelas bahwa moderasi beragama di era 4.0 adalah tentang bagaimana menghidupkan kembali ilmu-ilmu khusus dan menelusuri semuanya kembali ke akar dan sumber yang otoritatif agar tidak menimbulkan kesalahan dalam praktik. Apalagi di era pandemi saat ini, Sebagian beberapa orang yang tidak terbiasa dengan suatu bidang berani membicarakan hal-hal di luar bidangnya, yang dapat menimbulkan berbagai gejolak dan konflik sosial individu yang berkepanjangan. Maka bijak di dunia maya juga menjadi salah satu kunci terciptanya agama yang moderat.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSB Madrasah Aliyah Bilingual Krian Sidoarjo 2018-2019

PSB AL-AMANAH 2019-2020 (MA-SMP-SD)

Menggali Hikmah dalam Hukum Keluarga Islam: Mencapai Maqasid Syariah dengan Harmoni Keluarga