Peran Maqasid Syariah Dalam Pengembangan Sistem Ekonomi Islam
Peran Maqasid Syariah Dalam Pengembangan Sistem Ekonomi Islam
Muhammad Zahfril Umar Faruq
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Fakultas Syariah dan
Hukum, Progam Studi Hukum Keluarga Islam
e-mail: zafrilfaruq15@gmail.com
Dinamika perubahan sosial yang dihadapi oleh umat Islam yang terjadi di era modern ini telah menimbulkan sejumlah masalah serius yang berkaitan dengan hukum Islam. Sementara itu, metodemetode yang dikembangkan oleh para pembaharu dalam menjawab permasalahan tersebut belum memuaskan. Metode-metode yang dikembangkan oleh mereka umumnya masih bersifat ad hoc dan terpilah-pilah (Muallim, A., & Yusdani, 2001). Penerapan metode yang bersifat ad hoc dan terpilah-pilah tersebut, tentu saja belum mampu menghasilkan hukum yang komprehensif. Dengan kata lain, jika ingin menghasilkan hukum Islam yang komprehensif dan berkembang secara konsisten, maka harus dirumuskan metodologi yang sistematis yang mempunyai akar Islam yang kokoh. Metode adhoc dan terpisah-pisah tersebut merupakan lanjutan dari kondisikondisi sebelumnya, dimana para fuqaha dalam merumuskan dan mengkaji hukum Islam bersifat atomistic. Para fuqaha ketika mengkaji hukum Islam, langsung masuk ke dalam aturan-aturan kecil dan mendetail tanpa merumuskan terlebih dahulu asas-asas umum hukum yang mengatur dan menyemangati bentuk hukum Islam tersebut. Fiqih muamalah sebagai pilar ilmu ekonomi Islam misalnya, sangat cocok untuk menjelaskan hal ini, di mana para fuqaha klasik langsung membahas aturan-aturan rinci jual beli, sewa menyewa, serikat atau persekutuan usaha. Oleh karena itu, untuk menjawab kebutuhan diatas, maka ahli-ahli hukum Islam menyarankan agar pengkajian hukum Islam di zaman modern ini hendaknya ditujukan pada penggalian azas-azas hukum Islam dari aturan-aturan detail yang telah dikemukakan oleh para fuqaha klasik tersebut (Anwar, S., 1996).
Dalam rangka mencari basis teori menuju metode yang holistic tersebut, salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam adalah konsep maqasid al-syari’ah, yakni tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. Sebegitu pentingnya konsep ini, maka para ahli teori hukum Islam menetapkan maqasid al-syari’ah sebagai salah satu kriteria di samping kriteria lainnya bagi seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad. Artikel ini selanjutnya akan bermaksud membahas bagaimana maqasid al-syari’ah ini bisa dijadikan sebagai basis pengembangan ekonomi Islam.
Pembahasan
Pandangan Para Ulama Tentang Maqasid Al-Syari’ah
Pembicaraan mengenai maqasid al-syari’ah di era sebelum al-Syatibi hanya dapat diidentifikasi secara implisit dalam tema-tema kajian ‘illah hukum dan maslahat.‘Illah yang diartikan dengan suatu perkara yang jelas dan tegas yang menjadi alasan ditetapkannya hukum menjadi tema kajian yang menarik ketika dihubungkan dengan kajian maslahat. Sementara kajian ‘illah ini juga memasuki wilayah kajian teologi ketika dihubungkan dengan pertanyaan apakah hukum yang ditetapkan Tuhan itu berdasarkan ‘illahi (kuasa) tertentu atau tidak. Pengenalan dan pembahasan tentang konsep maqasid al-Syari’ah (Muallim, A., & Yusdani, 1992) telah dimulai dari Imam al-Haramain al-Juwaini. Beliau dapat dikatakan sebagai ahli ushul pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al-syari’ah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak mampu menetapkan hukum sebelum benar-benar memahami tujuan Allah mengeluarkan perintah dan larangan. Lebih jauh ia mengelaborasi maqasid alsyari’ah tersebut dalam hubungannya dengan ‘illat dan asl yang dapat dikategorikan ke dalam lima bagian, yaitu asl yang masuk dalam kategori dharuriyyat (primer), al-hajah al-‘ammah (sekunder), makramat (tersier), sesuatu yang tidak termasuk kelompok dharuriyyat dan hajiyyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ke dalam ketiga kelompok sebelumya. Singkatnya, alJuwaini membagi asl atau tujuan tasyri’ itu menjadi tiga macam yaitu dharuriyyat, hajiyyat, makramat (tahsiniyyat).
Selanjutnya, pemikiran al-Juwaini tersebut dikembangkan
oleh muridnya yakni al-Ghazali. Beliau menjelaskan maksud syari’at
dalam kaitannya dengan pembahasan al-munasabat al-maslahiyyat
dalam qiyas dan dalam kesempatan yang lain ia menjelaskannya
dalam tema istislah. Maslahat menurut al-Ghazali adalah memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (Ahmad ar-Raisuni). Kelima
macam maslahat di atas berada pada skala prioritas dan urutan yang
berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya yaitu peringkat primer,
sekunder dan tersier. Dari keterangan tersebut terlihat bahwa
maqasid al-Syari’ah sudah mulai menampakan bentuknya. Pemikir
dan ahli hukum Islam selanjutnya yang membahas secara khusus
maqasid al-Syari’ah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam dari kalangan
Syafi’iyyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep
maslahat secara hakiki dalam bentuk menarik maslahat dan menolak
mafsadat. Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan
dari tiga tingkatan urutan skala prioritas, yaitu dharuriyyat hajiyyat
dan takmilat atau tatimmat. Lebih jauh lagi ia menyebutkan bahwa
taklif harus bermuara pada terwujudnya kemaslahatan manusia baik
di dunia maupun di akhirat. Berdasarkan penjelasan ini dapat
dikatakan bahwa Izzuddin telah berusaha mengembangkan
maslahat yang merupakan inti pembahasan dari maqasid al-Syari’ah.
Penjelasan yang sistematis dan secara khusus serta jelas dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyyah dalam kitabnya alMuwafaqat fi Usul al-Syari’ah. Dalam kitabnya yang terkenal tersebut, ia menghabiskan sepertiga dari bukunya untuk membahas maqasid al-syari’ah. Tentunya pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam pembahasannya. Ia dengan secara tegas menyatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat. Karenanya, taklif harus mengarah pada terealisirnya tujuan hukum tersebut. Setiap suruhan dan larangan yang ada dalam ayat dan hadis tidak terlepas dari upaya memelihara kemaslahatan. Fatkhi ad-Daraini mengomentari bahwa hukum-hukum tidaklah dibuat untuk hukum sendiri melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan (Al-Daraini, F., 1975). Dengan bahasa yang tidak jauh berbeda Abu Zahrah menyatakan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Tidak satu pun hukum yang disyari’atkan baik dalam al-Qur’an maupun hadits melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan (Zahrah, A., M., 1958). Pernyataan di atas semakin mempertegas pernyataan alSyatibi bahwa sesungguhnya syari’at itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat (AlSyatibi). Semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan hukum. Dapat dikatakan bahwa kandungan maqasid al-Syari’ah adalah kemaslahatan.
Kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’at ini dibatasi dalam lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaan atas lima hal tersebut disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal disebut mafsadah (alButi, R, S, M., 1992). Dalam usaha untuk mewujudkan dan mempertahankan lima hal pokok tersebut, maka al-Syatibi membagi kemaslahatan tersebut pada tiga tingkatan, yaitu:
- Kemaslahatan dharuri. Kemaslahatan ini adalah kepentingan yang harus ada untuk terwujudnya kemaslahatan dunia dan akhirat. Apabila kepentingan tersebut tidak ada maka kelangsungan hidup di dunia tidak dapat dipertahankan dan akhirat akan mengalami kerugian eskatologis (Al- Kepentingan ini disebut juga dengan kepentingan primer.
- Kemaslahatan hajji, yakni kepentingan yang harus ada demi terwujudnya kemaslahatan yang tanpanya kemaslahatan hidup masih dipertahankan, akan tetapi dalam kesulitan dan tidak normal.
- Kemaslahatan tahsini, yakni perwujudan kepentingan yang tidak bersifat dharuri dan tidak bersifat haji. Dengan kata lain, jika kepentingan ini tidak terwujud, maka tidak menyebabkan kesulitan apalagi mengancam kelangsungan hidup. Sifatnya hanyalah komplementer yang bertujuan untuk mewujudkan praktek ibadah dan muamalat yang lebih baik serta mendorong akhlak dan kebiasaan terpuji (Al- Syatibi, 2009)
Pengetahuan tentang maqasid al-syari’ah sebagaimana yang ditegaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah hal yang sangat penting, mengerti dan memahami tentang maqasid al-syari’ah dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam memahami redaksi al-Qur’an dan as-sunnah, membantu menyelesaikan dalil yang saling bertentangan (ta’arud al-adillah) dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan suatu hukum dalam sebuah kasus yang ketentuan hukumnya tidak tercantum dalam al-Qur’an dan as-sunnah jika menggunakan kajian semantik (kebahasaan). Metode istinbath alhukum dengan menggunakan qiyas (analogi), istihsan, dan maslahah al-mursalah adalah metode-metode yang dapat dipakai dalam pengembangan hukum Islam dengan mengunakan maqasid alsyari’ah sebagai dasarnya.
Misalnya metode Qiyas baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditentukan maqasid al-syari’ahnya yaitu dengan menemukan illat al-hukm dari sebuah permasalahan hukum, sebagai contoh hukum tentang khamar menurut penelitian para ulama’ bahwa maqasid al-syari’ah dari diharamkanya khamar adalah karena sifatnya yang dapat memabukkan sehingga dapat merusak akal manusia, dengan demikian yang menjadi illat al-hukm dari khamar adalah sifat yang memabukkan dan merusak akal, sedangkan khamar hanya salah satu contoh dari sekian banyak hal yang memiliki kesamaan sifat dengannya.
Maqasid Al-Syari’ah Dalam Pengembangan Sistem Ekonomi Islam
Maqashid syariah menduduki posisi yang sangat penting dalam merumuskan ekonomi syariah, menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syari’ah. Pengetahuan maqashid syariah menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk menjawab berbagai problematika kehidupan ekonomi dan keuangan yang terus berkembang. Maqashid syariah tidak saja diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro, tetapi juga untuk menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid syariah juga sangat diperlukan dalam membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah. Mengenai aktivitas ekonomi dan bisnis, Islam telah memberikan prinsip-prinsip umum yang harus dipegangi, yaitu:
- Prinsip tidak boleh memakan harta orang lain secara batil.
- Prinsip saling rela, yakni menghindari pemaksaan yang menghilangkan hak pilih seseorang dalam muamalah.
- Prinsip tidak mengandung praktek ekploitasi dan saling merugikan yang membuat orang lain teraniaya.
Selama ini yang menjadi keberatan terhadap bentuk muamalah ini adalah masalah capital gain dalam transaksi di pasar sekunder. Di pasar sekunder ini dapat terjadi penjualan dan pembelian, tidak seperti pasar perdana yang hanya melayani penjualan. Harga dalam pasar sekunder ini tidak ditentukan oleh kesepakatan antara perusahaan (emiten) dan underwriter (penjamin emisi), melainkan ditentukan oleh investor, sehingga harga bisa lebih tinggi dan lebih rendah dibandingkan dengan pasar perdana, sesuai dengan mekanisme pasar. Dengan keadaan ini, bisa terjadi lembaran saham yang dibeli dipasar sekunder akan dijual kepada investor lain (investor spkelulan) dengan suatu harapan akan memperoleh keuntungan yang disebut dengan capital gain, yakni kelebihan harga dari nilai beli saham. Dengan demikian, tujuan investasi telah bergeser dari orientasi laba keuntungan kepada laba spekulatif. Bergeser juga orientasi pembelian saham dari semata-mata penyertaan modal kepada semata-mata jual beli (Zein, F., 2002).
Bila dilihat dari aspek jual beli saja, maka fluktuasi harga saham itu merupakan hal yang wajar dan mubah, sepanjang sahamsaham yang diperjualbelikan itu bidang usahanya adalah usaha yang mubah. Akan tetapi keuntungan yang diperoleh bisa spekulatif, tidak jarang muncul manuver-manuver tidak sehat yang bisa berwujud konspirasi atau lainnya. Diantara bentuk permainanpermainan tersebut adalah:
- Konspirasi antara underwriter, broker dan emiten yang bertujuan agar saham-saham yang ada dapat dipermainkan sesuai dengan keinginan mereka.
- Sekelompok pedagang saham menyebar berita bohong sekitar perusahaan penerbit saham.
- Permainan serupa juga bisa dilakukan oleh suatu grup perusahaan atau spekulan agar bisa meraup keuntungan besar. Celaka lagi kalau ada investor yang belum mengerti lika-liku dunia bursa akan menjadi makanan empuk bagi para pialang, misalnya dengan melakukan praktek al-najasy (menggoyang harga) (Junaedi, 1993)
- Sebelum kemunculan al-Syatibi dengan konsep maqasid al-syari’ah-nya, mayoritas literatur ushul fiqih hanya mengembangkan pendekatan kaidah-kaidah kebahasaan dalam memahami maksud syara’ dengan metode yang berbeda-beda dalam menetapkan maqasid tersebut. Pertama, aliran zhahiriyyat yang berpegang teguh pada keterangan syari’ secara harfiyyah untuk menetapkan tujuan syari’at sehingga aliran ini menolak penggunaan ra’yi dan qiyas. Kedua, golongan batiniyyat yang berpegang teguh pada sesuatu yang tersembunyi (rahasia) di balik zahir teks, terpisah dari teks dan bukan dari teks itu sendiri. Kelompok ketiga adalah kelompok moderat, yang menggabungkan antara makna penalaran akan dan ketetapan harfiyah nas. Al-Syatibi masuk ke dalam kelompok moderat.
- Para ulama sepakat tentang tujuan Allah mensyari’atkan sebuah hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan seluruh manusia, di lain sisi untuk menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut dicapai lewat taklif, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada pemahaman sumber hukum utama, al-Qur’an dan hadits. Dalam mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, ada lima hal pokok yang harus dipelihara dan dijaga yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
- Sudah menjadi kesepakatan bahwa dengan konsep maqasid al-syari’ah dapat diketahui bahwa maksud dan tujuan Allah dalam memberikan sebuah ketentuan untuk manusia adalah dalam rangka memelihara kepentingan dan kemanfaatan bagi manusia sendiri. Tidak ada ketentuan yang telah ditetapkan kecuali aturan tersebut memang mengandung kemaslahatan buat manusia.Dengan demikian maka sejatinya konsep maqasid al-syari’ah ini bisa dijadikan sebagai blue print dalam menghadapi berbagai permasalahan-permasalahan perekonomian kontemporer baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Hal ini semakin beralasan bila dihadapkan pada realitas keilmuan ekonomi Islam yang masih mencari bentuk idealnya. Selain itu tujuan akhir ekonomi Islam adalah sebagaimana tujuan dari syariat Islam itu sendiri (maqashid asy syari’ah), yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah) melalui suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat (hayyah thayyibah). Mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi manusia merupakan dasar sekaligus tujuan utama dari syariat Islam (mashlahah al ibad), karenanya juga merupakan tujuan ekonomi.
Daftar Pustaka
Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqih dalam Mengkaji Keuangan Kontemporer”, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Yogya, MA’MAL | Volume 02 Nomor 01 Februari 2020 13 Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002.
Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah", Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995.
Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia., (Medan :Pustaka Widyasarana,1995).
Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Yogya, Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2002.
Komentar
Posting Komentar