PENERAPAN MANTUQ DAN MAFHUM KE DALAM HUKUM DI INDONESIA

 PENERAPAN MANTUQ DAN MAFHUM KE DALAM HUKUM DI INDONESIA



Oleh : Mohammad Naufal Hilmi

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel surabaya

naufalhilmi13579@gmail.com


Abstrak

Agama Islam sebagai ajaran paripurna mengatur struktur interaktif antara manusia dengan Allah, manusia dengan sesama dan lingkungan sekitarnya. Berlaku pula dalam hal ini hukum pidana yang mengatur beragam bentuk pelanggaran serta sanksi-sanksinya. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia masih belum mengakomodir ranah pidana Islam pada tata hukum nasionalnya. Adanya upaya pembaharuan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia menegaskan perlunya perubahan. Kajian ini menelaah secara khusus ayat-ayat pidana dalam Al-Quran melalui konsep pemaknaan dalam teori manṭūq dan mafhūm yang selanjutnya disandingkan dengan pemaknaan pasal-pasal pidana pembunuhan dalam KUHP. Penelitian ini ditelaah secara deskriptif-kualitatif dengan menganalisa literatur pustaka terkait dengan kajian yang diteliti.

Kata Kunci : Mantuq Mafum, Ayat-Ayat Pidana


PENDAHULUAN

Ushul fiqih merupakan salah satu piranti (ilmu alat) yang sangat urgen dan sangat dibutuhkan dalam menetapkan hukum-hukum syariah (Islam). Kajian ushul fiqih sangat erat hubungannya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya sebagai sumber hukum inti syariah islamiyah dijadikan sebagai hujjah yang diproses oleh kaidah-kaidah ushuliyah dalam menelurkan hukum-hukum syariah. Karena pada dasarnya setiap pengambilan hukum (istinbath) dalam syariat Islam harus berpijak atas al-Qur’an dan Sunnah Nabi (al-Zuhaili, 1986: 198).

Telah menjadi sebuah keniscayaan bahwa seorang ahli fiqih (faqih) dan ahli ushul fiqih (ushuly) harus mengetahui prosedur dan cara penggalian hukum (thuruq al-istinbath) dari teks (nash) al-Qur’an maupun Sunnah. Untuk kepentingan itu, maka ushul fiqih sebagai sebuah piranti dalam mengambil langkah hukum telah menetapkan metodologi atau rumusnya. Ini disebabkan sekian banyak peristiwa bermunculan setiap saat yang berbeda dengan peristiwa atau rincian peristiwa yang lalu, padahal nash al-Qur’an dan Sunnah tidak sebanyak peristiwa tersebut. Untuk itulah, lahir kebutuhan kepada metodologi dan rumus yang bersifat umum yang dapat digunakan untuk memahami teks sekaligus menetapkan hukum berdasarkan metodologi dan rumus itu.

Namun demikian, keteraturan hidup, baik horisontal (manusia dengan manusia serta alam sekitarnya) maupun vertikal (manusia dengan Tuhan), yang ingin diwujudkan oleh manusia melalui ajaran para Rasul bukanlah tanpa celah. Bahkan celah tersebut sudah muncul pertama kali pada generasi awal manusia yang dikenal melalui kisah kedua putra Adam As: Qabil dan Habil. Celah negatif inilah yang sedari awal ingin ditutup dan dikokohkan dengan bangunan karakter iman dan takwa.

Pada kehidupan bermasyarakat, Islam sebagai ajaran paripurna mengatur struktur interaktif antara manusia dengan Allah, manusia dengan sesama dan lingkungan sekitarnya. Struktur interaktif tersebut dikenal kemudian dengan istilah syariah. Hal tersebut karena syariah mengatur pola kehidupan manusia baik itu secara privat maupun publik.

Kepatuhan dan ataupun pelanggaran manusia termuat dalam Al-Quran dan Sunah Rasulullah SAW. Kaitannya dengan pelanggaran pidana, hukum dalam Syariah Islam masih dilekatkan dengan kekejaman. Ini karena dominasi saknsi yang dijatuhkan mayoritas bersifat corporal punishment atau hukuman yang bersifat badani/fisik.[1]

Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia masih belum mengakomodir ranah pidana Islam pada tata hukum nasionalnya. Namun demikian, dengan fluktuasi angka statistik pada tindak pidana (kejahatan) di Indonesia, Hukum Islam setidaknya bisa menjadi referensi alternatif sebagai acuan negara. Pada indikator crime total (jumlah kejahatan), angka statistik menunjukkan fluktuasi tindak kejahatan yang terjadi pada periode 2011-2013. Pada tahun 2011 muncul 347.605 kasus, namun menurun pada tahun 2012 menjadi 341.159 kasus. Namun, angka statistik kembali meningkat pada tahun 2013 menjadi 342.082 kasus.[2]

Adanya upaya pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia menegaskan perlunya perubahan. Pada sisi inilah perlu kiranya Hukum Islam menjadi salah satu bahan kaji bagi para perumus undang-undang. Hukum Islam sebagai satu dari sekian referensi tentu perlu membutuhkan pembacaan sistematis dari sumber utamanya: Al-Quran dan Hadis.

PEMBAHASAN

    Mantuq dan mafhum adalah dua konsep penting dalam pemahaman dan penerapan hukum Islam. Mantuq merujuk pada teks atau nash hukum Islam, seperti ayat Al-Quran atau hadis, sedangkan mafhum adalah pemahaman yang diambil dari teks tersebut.

    Di Indonesia, penerapan mantuq mafhum dalam hukum dapat terlihat dalam beberapa aspek, terutama dalam pembentukan dan penafsiran hukum Islam. Berikut adalah beberapa contoh penerapannya:

1. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945): Meskipun UUD 1945 tidak secara langsung mengadopsi hukum Islam, prinsip-prinsip hukum Islam dapat diimplementasikan dalam interpretasi dan penafsiran konstitusi. Konsep seperti keadilan, keseimbangan, dan moralitas yang ada dalam hukum Islam dapat dipertimbangkan dalam proses pembuatan undang-undang.

2. Penyusunan undang-undang: Dalam proses pembentukan undang-undang di Indonesia, ada komisi-komisi khusus yang membahas masalah hukum Islam, seperti Komisi VIII DPR RI. Ketika menyusun undang-undang terkait hukum Islam, para legislator dapat menggunakan metode mantuq mafhum untuk memahami maksud dan tujuan hukum yang terkandung dalam sumber-sumber hukum Islam.

    Pengadilan: Di pengadilan, terutama dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan hukum Islam, metode mantuq mafhum juga digunakan. Hakim menggunakan prinsip-prinsip hukum Islam dan pendekatan mantuq mafhum dalam memahami dan menafsirkan nash-nash hukum Islam yang relevan untuk kasus yang mereka hadapi.[1]

    Penyusunan peraturan daerah: Di tingkat pemerintah daerah, beberapa daerah di Indonesia memiliki peraturan daerah yang mengatur aspek-aspek kehidupan berdasarkan hukum Islam. Dalam menyusun peraturan daerah tersebut, mantuq mafhum juga menjadi pertimbangan utama.

    Penerapan mantuq mafhum dalam hukum di Indonesia bertujuan untuk memadukan prinsip-prinsip hukum Islam dengan sistem hukum nasional, sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan prinsip negara hukum. Namun, penting untuk diingat bahwa interpretasi dan penerapan mantuq mafhum dapat bervariasi, tergantung pada pemahaman dan sudut pandang individu yang terlibat dalam proses tersebut.

Pengertian Mantuq Dan Mafhum

1. Pengertian Manthuq

Secara etimologi منطوق adalah Isim Maful yang berasal dari نطق - يَنطِقُ yang artinya berbicara¹, jadi berarti yang dibicarakan. Sedangkan secara istilah menurut Syafi'i: "Manthuq ialah sesuatu yang ditunjuki lafal dan ucapan lafal itu sendiri. Dan menurut Mudzakir, adalah suatu (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni penunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.[1]

Jadi Manthuq adalah: arti yang diperlihatkan oleh lafaz yang diungkapkan (yakni, petunjuk arti tidak keluar dari unsur-unsur huruf yang diucapkan).

2. Macam – Macam Mantuq

    a) Nash (lafadh yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti)

    Lafaz yang tidak memiliki kemungkinan lebih dari satu arti atau nash, ialah lafaz yang bentuknya sendiri telah dapat menunjukkan makna yang dimaksud secara tegas (sharih), tidak mengandung kemungkinan makna lain.

    b). Zahir (lafaz yang diberi pemahaman dengan arti yang lebih diunggulkan).

    Lafadh yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika diucapkan tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh). Jadi, zahir itu sama dengan nash dalam hal penunjukkannya kepada makna yang berdasarkan pada ucapan. Namun dari segi lain ia berbeda dengannya karena nash hanya menunjukkan satu makna secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan menerima makna lain, sedang zahir di samping menunjukkan satu makna ketika diucapkan juga disertai kemungkinan menerima makna lain. [2]

    1.    Pengertian Mafhum

Secara etimologi mafhum adalah isim maful yang berasal dari kata (فهميفهمو) yang artinya faham2, مفهوم berarti yang difahami.

Sedangkan secara istilah Mafhum (pemahaman) adalah arti yang tidak diperlihatkan oleh lafaz yang diucapkan (yakni, petunjuk artinya keluar dari unsur-unsur huruf yang dicapkan). [3] Menurut Syafi'i Karim, mafhum adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz, tetapi bukan dari ucapan lafaz itu sendiri. Dan menurut Mudzakir, ialah makna yang ditunjukkan oleh lafaz tidak berdasarkan pada bunyi ucapan. Dengan kata lain mafhum ialah yang ditunjukan oleh suatu lafadh tidak dalam tempat pembicaraan tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut.[4]

2. Macam – Macam Mafhum

    a). Mafhum Muwafawoh

    Mafhum Muwafaqah yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Atau Pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz mantuq. dengan kata lain makna yang hukumnya sesuai dengan mantuq.

    b). Mafhum Mukholafah

    Mafhum mukhalafah adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Atau Pemahaman yang diberikan kepada lafaz mafhum itu tidak selaras dengan yang dimiliki oleh lafaz maniuq, dengan kata lain makna yang berbeda hukumnya dengan mantuq.

Aplikasi Konsep Mantuq Dan Mafhum Terhadap Ayat-Ayat Tindak Pembunuhan

1.      QS. An-Nisa’ Ayat 92-93 

 وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ أَن یَقۡتُلَ مُؤۡمِنًا إِلَّا خَطَـࣰٔاۚ وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَـࣰٔا فَتَحۡرِیرُ رَقَبَةࣲ مُّؤۡمِنَةࣲ وَدِیَةࣱ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰۤ أَهۡلِهِۦۤ إِلَّاۤ أَن یَصَّدَّقُوا۟ۚ فَإِن كَانَ مِن قَوۡمٍ عَدُوࣲّ لَّكُمۡ وَهُوَ مُؤۡمِنࣱ فَتَحۡرِیرُ رَقَبَةࣲ مُّؤۡمِنَةࣲۖ وَإِن كَانَ مِن قَوۡمِۭ بَیۡنَكُمۡ وَبَیۡنَهُم مِّیثَـٰقࣱ فَدِیَةࣱ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰۤ أَهۡلِهِۦ وَتَحۡرِیرُ رَقَبَةࣲ مُّؤۡمِنَةࣲۖ فَمَن لَّمۡ یَجِدۡ فَصِیَامُ شَهۡرَیۡنِ مُتَتَابِعَیۡنِ تَوۡبَةࣰ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِیمًا حَكِیمࣰا {92} وَمَن یَقۡتُلۡ مُؤۡمِنࣰا مُّتَعَمِّدࣰا فَجَزَاۤؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَـٰلِدࣰا فِیهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَیۡهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِیمࣰا {93}ۦۤ


 Artinya :Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja); dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhi kalian, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kalian, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan tobat dari Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS. An-Nisa’ Ayat 92-93).

Tafsir Dan Penjelasan

Seorang Mukmin tidaklah berhak membunuh saudara sesama Mukmin dengan cara apa pun, kecuali pembunuhan itu terjadi secara tersalah atau tidak disengaja. Pembunuhan tersalah yaitu pembunuhan yang terjadi tanpa maksud awal membunuh atau tanpa maksud awal menghilangkan nyawa orang lain atau yang dilakukan dengan cara melakukan sesuatu yang pada umumnya tidak bisa membuat orang lain terbunuh. Hal itu karena pembunuhan merupakan salah satu tindak kejahatan ter-besar yang termasuk di antara tujuh hal yang dapat membuat segala amal kebaikan seorang Mukmin lenyap tak tersisa.[1] Hal ini disebutkan juga dalam ayat.

" Barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orqng itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi maka seakan-akan dia telah membunuh semua monusia." (al-Maa'idah: 3 2)

Hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pembunuhan tersalah ada dua, yaitu membebaskan seorang budak Mukmin dan membayar harta tebusan yang diberikan kepada keluarga si terbunuh. Kewajiban pertama berupa membebaskan budak Mukmin itu merupakan tebusan karena telah melaksanakan dosa besar; yaitu membuat orang lain kehilangan nyawa, meskipun tidak disengaja. Syarat pelaksanaan kewajiban pertama ini yaitu budak yang dibebaskan haruslah seorang budak yang Mukmin. Karena itu, jika budakyang dibebaskan adalah seorang kafir, hal itu tidak sah. Menurut pendapat mayoritas ulama, jika budak yang dibebaskan adalah seorang yang Mukmin, hal itu sah, baik budak itu masih anak-anak maupun dewasa, meskipun budak itu dimiliki oleh atau dibebaskan dari seorang yang kafir.[2]

Pema’naan Hukum Berdasarkan Konsep Mantuq

Secara keseluruhan dua ayat tadi menjelaskan tentang dua kategori pidana pembunuhan; sengaja dan tidak sengaja. Ayat 92 secara makna menunjukkan larangan keras seorang mukmin membunuh mukmin lain. Larangan ini ditunjukkan dengan kata wa mā kāna li mu`minin. Imam Qurthubi menjelaskan bahwa kata wa mā kāna tidak dimaksudkan sebagai bentuk penafian, akan tetapi condong kepada larangan tegas.

Menurutnya, apabila maksudnya adalah penafian, maka pembunuhan tidak pernah ada kejadiannya. Sementara secara fakta, pembunuhan nyata ada di kehidupan manusia.29 Kalaupun terjadi pembunuhan, maka tidaklah berdasarkan unsur kesengajaan, namun karena tersalah (tidak sengaja). Pada posisi ini, ayat 92 menunjukkan hukum pembunuhan yang dilakukan tanpa kesengajaan.[3]

Tatkala terjadi pembunuhan tidak disengaja, Allah memberikan aturan kepada pelaku untuk membayar diat. Selain diat yang harus dibayarkan kepada keluarga korban, sanksi pembunuhan pada kategori ini adalah kaffārah dengan memerdekakan budak yang mukmin.[4]

Macam-macam motif tersebut di atas merupakan perwujudan dari niat atau maksud yang ada pada kendali manusia. Menilik pada khazanah hukum Islam, niat dimaknai dengan beragam definisi. Ada dua pendapat definitif terkait dengan niat yang berkaitan erat dengan motif pidana:[5]

1. Mazhab Maliki menyatakan bahwa niat adalah maksud dari hati nurani manusia terhadap sesuatu yang hendak ia perbuat.

2. Mazhab Syafii menyatakan bahwa niat adalah suatu maksud yang terindikasikan dengan perbuatannya. Niat inilah yang kemudian mempengaruhi wujud perbuatan yang dilakukan manusia. Rasulullah Saw telah lama mengkorelasikan antara niat dengan perbuatan. Sabdanya yang masyhur adalah “innama‟l a‟mālu bi al-niyyāt wa innamā likullim ri`in mā nawā” (sesungguhnya segala perkara itu bergantung pada niat, dan setiap seseorang [perbuatannya] sesuai dengan apa yang ia niatkan).

Niat tidak kemudian menjadi hal yang dipertanggungjawabkan selama kehendak maksudnya tidak terwujud secara perilaku. Oleh karenanya niat atau kehendak maksud seseorang adalah sesuatu yang dikontrol oleh manusia sehingga mengikat tanggung jawab antara kehendak dan perbuatannya. Duff berujar bahwa peneguhan kontrol merupakan syarat adanya pertanggungjawaban. Manusia hanya bertanggungjawab pada wilayah kendali kehendaknya (Duff, 2007: 100).[1]

2.      QS. Al-Baqoroh Ayat 178-179

  

 یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَیۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِی ٱلۡقَتۡلَىۖ ٱلۡحُرُّ بِٱلۡحُرِّ وَٱلۡعَبۡدُ بِٱلۡعَبۡدِ وَٱلۡأُنثَىٰ بِٱلۡأُنثَىٰۚ فَمَنۡ عُفِیَ لَهُۥ مِنۡ أَخِیهِ شَیۡءࣱ فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَأَدَاۤءٌ إِلَیۡهِ بِإِحۡسَـٰنࣲۗ ذَٰلِكَ تَخۡفِیفࣱ مِّن رَّبِّكُمۡ وَرَحۡمَةࣱۗ فَمَنِ ٱعۡتَدَىٰ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِیمࣱ{178} وَلَكُمۡ فِی ٱلۡقِصَاصِ حَیَوٰةࣱ یَـٰۤأُو۟لِی ٱلۡأَلۡبَـٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ


Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) kisas1 berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.{178}Dan dalam kisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa. {179}

Tafsir Dan Penjelasan

    Dulu, sebelum Islam, hukuman pembunuh bermacam-macam. Di kalangan kaum yahudi, hukumannya adalah qishash, sedang di kalangan kaum Nasrani hukumannya adalah diat sementara di kalangan bangsa Arab fahiliyah berkembang kebiasaan balas dendam: yang dibunuh adalah selain si pembunuh, kadang mereka bahkan membunuh si kepala suku, atau membunuh lebih dari satu orangdari suku si pembunuh, kadang meski korbannya Cuma satu orang mereka menuntut balas terhadap sepuluh orang kalau korbannya perempuan mereka menuntut balas kepada laki-laki, dan kalau korbannya budak mereka ingin membunuh orang merdeka sebagai balasannya.

    Kemudian, sebagai bentuk aplikasi prinsip keadilan dan persamaan, Islam menetapkan hukuman qishash karena hukuman ini akan mencegah manusia melakukan tindak kejahatan berupa pembunuhan. Hukuman ini masih menjadi satu-satunya hukuman yang efektif di zaman sekarang, sebab penjara tidak seberapa ampuh untuk membuat para penjahat yang haus darah itu jera. Syariat Allah adalah aturan yang paling adil, paling bijaksana, dan paling tepat, karena Allah lebih mengetahui apa yang cocok bagi manusia, dan paling tahu tentang apa yang dapat mendidik semua umat dan bangsa. Syariat Islam membolehkan pengambilan diat sebagai ganti qishash.[1]

    Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan qishash atas kalian berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Hendaknya kalian mengqisas pembunuh dengan menghukumnya seperti apa yang dilakukannya terhadap orang yang dibunuhnya, dan janganlah kalian menganiaya satu sama lain; hendaknya orang merdeka dibunuh sebagai balasan pembunuhan terhadap orang merdeka, budak dibunuh sebagai balasan atas pembunuhan terhadap budah dan wanita dibunuh sebagai balasan pembunuhan terhadap wanita, dengan cara yang setimpal dan tinggalkanlah kelaliman yang dulu kalian lakukan, ianganlah kalian membunuh lebih dari satu orang sebagai balasan pembunuhan terhadap orang merdeka, jangan membunuh orang merdeka sebagai balasan pembunuhan terhadap budak dan iangan membunuh laki-laki sebagai balasan pembunuhan terhadap wanita. Kemudian As-sunnah menerangkan bahwa laki-laki dibunuh apabila ia membunuh wanita, dan orangmerdeka dibunuh bila membunuh budak jika ia bukan majikan budak itu'

    Jadi, keadilan diperlukan dalam qishas dan persamaan menjadi syarat di dalamnya. Karena itu, orang banyak tidak dibunuh sebagai balasan pembunuhan terhadap orang sedikit, dan pemimpin tidak dibunuh sebagai balasan pembunuhan terhadap anak buah. Hukuman qishash terbatas pada si pembunuh saja, tidak melampauinya kepada salah satu anggota sukunya atau kerabatnya.[2]

Pemaknaan Hukum Berdasarkan Konsep Mantuq

    Pada kalimat pertama ayat 178, secara makna menunjukkan tentang kewajiban penjatuhan sanksi pidana pembunuhan dengan sanksi kisas. Kewajiban ini ditunjukkan dari kata kutiba yang semakna dengan utsbita, furiḍa, aujaba dan qaḍā yaitu yang ditetapkan, difardukan, mewajibkan dan memutuskan.[3]

    Sanksi kisas (qiṣāṣ) pada maksudnya adalah sanksi yang diterapkan setimpal. Maka, menunjuk pada kata al-qatlā ayat ini menegaskan bahwa pidana pembunuhan akan dikenakan sanksi mati sebagaimana perbuatan si pelaku. Demikian pula dengan penganiayaan dan pencederaan turut pula dipidanakan dengan sanksi kisass.[4]

    Implikasi pembunuhan dengan kisas yang dimaknai di sini ditunjukkan pula pada kalimat al-ḥurru bil ḥurri ... dan seterusnya. Jika orang merdeka membunuh orang merdeka maka ia akan dibunuh secara hukum. Demikian halnya antara hamba sahaya dengan hamba sahaya atau antara perempuan dengan perempuan. Secara manṭūq kalimat implikatif ini menunjukkan makna apa adanya, yakni apabila seorang laki-laki membunuh perempuan tidak bisa dikenakan sanksi kisas. Hanya saja, kalimat ini memiliki sisi mafhūm yang perlu dijabarkan.

    Selain dari kisas, ayat ini memberikan alternatif sanksi yang ditandai dengan kata „ufia. Kata ini merupakan bentuk pemaafan kepada pelaku pembunuhan yang disebut dalam kalimat ini dengan akhun (saudara). Artinya bahwa bentuk pemaafan oleh wali (keluarga) adalah bentuk persaudaraan. Bentuk pemaafan ini diikuti dengan kata syai`un yang dimaksudkan sebagai sanksi pengganti dengan menggunakan harta yang kemudian diistilahkan dengan diat.[5]

Pemaknaan Hukum Berdasarkan Konsep Mafhum

    Sebagaimana telah disebutkan bahwa ayat 178-179 di atas mengetengahkan tentang tindak pidana pembunuhan. Merujuk pada kata al-qatlā dan kisas pada ayat 178, maka kategori pembunuhan yang difahami adalah pembunuhan yang disengaja. Sementara kewajiban pelaksanaan kisas diampu oleh pemerintah (ulil amri) dan bukan kembali kepada wali korban. Maka dapat dimafhūm-i di sini bahwa keluarga korban memiliki hak untuk menyatakan kisas atau memaafkan. Apabila diputuskan kisas, maka pemerintahlah yang wajib melaksanakannya.[6]

    Kalimat al-ḥurru bil ḥurri ... dan seterusnya walaupun dimaknai sebagai persamaan antara subjek (pembunuh) dan objek (korban), namun tidak serta-merta dimaksudkan demikian. Sebagaimana pendapat mazhab Hanafiyah bahwa maksud kalimat ini adalah dalam rangka untuk menganulir kezaliman masa jahiliyah. Kezaliman mereka, misalnya, jika sesama perempuan (pembunuh dan korban) maka hukuman akan dikenakan kepada laki-laki yang notabene sama sekali bukan pelaku.[7]

    Hanya saja, kalimat ini memang menjadi tempat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama secara umum menyatakan pemahamannya sesuai dengan ayat yang dimaksud. Tidak ada perbedaan jenis yang disebutkan dalam ayat ini, sehingga apabila berbeda maka kisas tidak akan dijatuhkan, melainkan sanksi lain. Selain kalangan Hanafiyah, Al-Tsauri, dan Ibnu Abi Laila, meyakini bahwa penjatuhan sanksi kisas difahami secara umum; baik itu memiliki kesamaan jenis maupun berbeda.[8]

KESIMPULAN

Ushul fiqih merupakan salah satu piranti (ilmu alat) yang sangat urgen dan sangat dibutuhkan dalam menetapkan hukum-hukum syariah (Islam). Kajian ushul fiqih sangat erat hubungannya dengan al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya sebagai sumber hukum inti syariah islamiyah dijadikan sebagai hujjah yang diproses oleh kaidah-kaidah ushuliyah dalam menelurkan hukum-hukum syariah.

Mantuq dan mafhum adalah dua konsep penting dalam pemahaman dan penerapan hukum Islam. Mantuq merujuk pada teks atau nash hukum Islam, seperti ayat Al-Quran atau hadis, sedangkan mafhum adalah pemahaman yang diambil dari teks tersebut.

Berdasarkan pada pemaknaan ayatayat pidana pembunuhan melalui manṭūq dan mafhūm, apabila disandingkan dengan KUHP maka hal yang urgen untuk dilakukan penyesuaian adalah deskripsi definitif sengaja dan tidak sengaja yang dimasukkan dalam Aturan Umum KUHP


DAFTAR PUSTAKA

 

Badan Pusat Statistik, (2014), Statistik Kriminal 2014, Jakarta: Badan Pusat Statistik

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), (2005), Tinjauan Umum Terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional, Jakarta: ELSAM,

 

Mudzakir, AS, Studi ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Bogor, Litera antar nusa,2007).

Abu Bakar Al-Qurthubi, (2006), Al-Jāmi‟ li Aḥkāmi‟l Qur`ān, jilid 7, Beirut: Muassasah AlRisālah

Tafsir Al-Munir Jilid 1

Tafsir Al-Munir Jilid 3



[1] Tafsir Al-Munir jilid 1, Hal. 356

[2] Tafsir Al-Munir jilid 1, Hal. 357

[3] Abu Bakar Al-Qurthubi, (2006), Al-Jāmi‟ li Aḥkāmi‟l Qur`ān, jilid 3, Beirut: Muassasah AlRisālah, hlm 64; Muhammad Ali Al-Shabuni, (1980), Rawāi‟u‟l Bayān Tafsīr Āyāti‟l Aḥkām mina‟l Qur`ān, jilid 1, Beirut: Muassasah Manāhilu‟l Qur`ān, hlm 168-169; Op.Cit. Mujamma‟u‟l Lughati‟l „Arabiyah, hlm 774

[4] Muhammad Abu Zahrah, (tanpa tahun), Zahrat Al-Tafāsir, Mesir: Dāru‟l Fikri‟l „Arabīy, hlm 78 dan 85.

[5] Muhammad Al-Thahir Ibnu „Asyur, (1984), Tafsīr Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr, jilid 2, Tunisia: Dār Al-Tūnis, hlm 141.

[6] Op. Cit. Abu Bakar Al-Qurthubi, hlm 66

[7] Op.Cit. Muhammad Ali Al-Shabuni, hlm 175

[8] Op.Cit. Abu Bakar Al-Qurthubi, hlm 68.


[1] R.A. Duff, 2007, Answering for Crime; Responsibility and Liability in the Criminal Law, Oregon: Hart Publishing, hlm 100



[1] Tafsir Al-Munir jilid 3. Hal. 200

[2] Tafsir Al-Munir jilid 3. Hal 201

[3] Abu Bakar Al-Qurthubi, (2006), Al-Jāmi‟ li Aḥkāmi‟l Qur`ān, jilid 7, Beirut: Muassasah AlRisālah, hlm 5.

[4] Op.Cit. Muhammad Ali Al-Shabuni, hlm 501

[5] Op. Cit. Wizāratu‟l Auqāf wa Al-Syu`ūnu‟l Islāmiyah, hlm 59-60



[1] Mudzakir, AS, Studi ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Bogor, Litera antar nusa,2007). Hlm. 358

[2] Ibid, Hal. 359

[3] Rosihon, Mutiara Ilmu-Ilmu Qur’an, Hal. 235

[4] Ibid, Hal. 363


[1] Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), (2005), Tinjauan Umum Terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional, Jakarta: ELSAM,


[1] Siti Jahroh, (2011), Reaktualisasi Teori Hukuman dalam Hukum Pidana Islam, Jurnal Hukum Islam (JHI) Volume 9 Nomor 2, hlm 196.

[2] Badan Pusat Statistik, (2014), Statistik Kriminal 2014, Jakarta: Badan Pusat Statistik, hlm 17.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSB Madrasah Aliyah Bilingual Krian Sidoarjo 2018-2019

PSB AL-AMANAH 2019-2020 (MA-SMP-SD)

Menggali Hikmah dalam Hukum Keluarga Islam: Mencapai Maqasid Syariah dengan Harmoni Keluarga